Kehadiran kecerdasan buatan (AI) dalam dunia pendidikan sejatinya membawa banyak kemudahan. Mahasiswa kini dapat mengakses informasi dengan cepat, membuat ringkasan otomatis, bahkan menghasilkan esai dengan bantuan teknologi. Namun di balik kemudahan itu, muncul satu persoalan serius: melemahnya literasi mahasiswa.
Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, melainkan mencakup kemampuan memahami, menganalisis, dan mengkritisi informasi. Sayangnya, sebagian mahasiswa mulai terjebak dalam budaya instan. Ketika tugas datang, solusi tercepat adalah membuka chatbot atau AI generator, bukan lagi membuka buku, berdiskusi, atau melakukan riset mandiri.
Akibatnya, kemampuan berpikir kritis menurun, kemampuan menulis melemah, dan pemahaman terhadap materi menjadi dangkal. Lebih buruk lagi, sebagian tidak mampu lagi membedakan mana tulisan yang dihasilkan oleh nalar sendiri dan mana yang sekadar hasil salin-tempel mesin.
AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti proses belajar. Mahasiswa perlu menyadari bahwa teknologi tidak bisa menggantikan proses berpikir. Justru di era digital ini, literasi menjadi lebih penting, agar tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga bijak secara intelektual.
Kampus, dosen, dan mahasiswa harus kembali membangun budaya literasi yang sehat: membaca buku, menulis dengan jujur, dan berpikir dengan kritis. AI adalah alat, manusialah yang menentukan arah dan nilainya.